MEMBACA AL-QUR’AN DENGAN SĪRAH DAN MEMBACA SĪRAH MELALUI AL-QUR’AN[1]


Oleh: M. Yahya Zakariya[2]

Judul Buku : Madkhal ilā al-Qur’ān al-Karim: al-Juz al-Awwal fī Ta΄rīf bi al-Qur’ān

Penulis : Dr. M. ΄Ābed al-Jābirī

Kota dan Tahun Terbit : Beirut, 2006

Penerbit : Markaz Dirāsat al-Wiḥdah al-΄Arābiyyah

Tebal : 456 Halaman

A. Pendahuluan
Dalam sebuah Stadium Generale yang digelar oleh mahasiswa Jurusan Tafsir dan Hadis (20/02/08) di Gedung Teatrichal Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Muchlis M. Hanafi, seorang Doktor bidang Tafsir dan Hadis alumni Universitas al-Azhar Kairo Mesir, mengungkapkan bahwa “Persoalan sekarang bukan pada autentisitas al-Quran dan Sunnah”.[3] Artinya, pada saat ini bukan eranya mempersoalkan asli atau tidak asli, murni atau tidak murni terkait dengan diskursus al-Qur’an. Lebih dari itu, problem yang cukup signifikan untuk dikaji pada saat ini adalah persoalan metodologi terkait dengan pembacaan terhadap kitab suci yang diturunkan sekitar 14 abad silam. Karena, secara realitas tidak dapat dimungkiri jika varian pemahaman terhadap al-Qur’an tidak terlepas dari ruang lingkup yang mengitarinya (baca: menyejarah),[4] sehingga munculah istilah tafsir yang bersifat sektarian, ideologis, dan lain sebagainya.

Di samping itu, sebagai the Massage of God yang bersifat universal dan relevan dalam bentangan waktu dan ruang (ṣāliḥ li kull zamān wa makān), al-Qur’an harus selalu dijadikan sebagai landasan moral-teologis dalam rangka menjawab problem-problem sosial-keagamaan era modern-kontemporer. Artinya, tafsir tidak boleh berhenti, melainkan harus selalu berproses seiring dan sejalan dengan tuntutan zaman.[5] Sehingga, dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat pemahaman terhadap al-Qur’an harus senantiasa dilakukan tanpa mengenal henti dan paten. Kaitannya dengan itu, tawaran metode yang berbasis pada jargon tersebut telah bertebaran bak jamur di musim hujan. Di balik kepentingan dan ruang lingkup yang berbeda, para peminat kajian al-Qur’an beramai-ramai menawarkan metodenya. Seperti; Fazlur Raḥman, Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Moḥammed Syaḥrūr, Moḥammed Arkoun, Riffat Ḥassan, Abū al-Kalam Azad, Moḥammed Ṭalbi, dan termasuk pula M. ΄Ābed al-Jābirī (kemudian disebut al-Jābirī).[6]
Secara umum, latar belakang mereka dalam merekonstruksi—bahkan mendekonstruksi—metodologi tafsir tidak terlepas dari ketidakpuasan mereka terhadap produk-produk penafsiran konvensional yang dinilai syarat dengan nuansa ideologis, otoriter, hegemonik dan sektarian, sehingga menyimpangkan dari tujuan utama diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Inilah yang kemudian disebut oleh Abdul Mustaqim disebut dengan era reformatif, di mana basis pemikiran pada era ini adalah nalah kritis,[7] tidak terkeculai al-Jābirī. Meskipun tidak secara langsung ia katakan dalam karya tafsirnya, tetapi dengan metodologi yang ia bangun, tujuannya adalah melepaskan al-Qur’an dari belenggu maẓhab maupun ideologi.[8] Sedangkan buku yang sedang diulas ini adalah karya pengantar tafsirnya.

B. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan
Al-Jābirī adalah nama yang tidak asing bagi kalangan pegiat Islamic studies atau Arabic studies. Bagaimana tidak, puluhan buah karya telah ia tulis, baik dalam bentuk buku maupun artikel. Namanya mencuat di dataran wacana pemikiran Islam pada saat ia melempar buah karya serial Naqd al-΄Aql al-΄Arabī ke publik.[9] Sejak saat itu ia di-“rasani” di berbagai forum kajian dan media, bahkan komentar atas karyanya bermunculan silih berganti.
Di sela-sela aktifitasnya, beberapa waktu silam ia telah melirik kajian al-Qur’an dengan menelorkan buah karya pengantar yang berjudul Madkhal ilā al-Qur’ān al-Karīm: al-Juz al-Awwal fī Ta΄rīf al-Qur’ān. Karya ini ia rilis pada Oktober 2006. Sebagai sebuah karya pengantar, al-Jābirī selanjutnya mengeluarkan karya intinya dalam diskursus al-Qur’an dengan judul Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm: al-Tafsīr al-Wāḍiḥ Ḥasba Tartīb al-Nuzūl. Karya ini terdiri dari tiga bagian; bagian pertama terbit pada Februari 2008; bagian kedua terbit pada Oktober di tahun yang sama. Kemudian pada Februari 2009, edisi pamungkas serial tersebut dilempar ke pasar.
Dengan diterbitkannya karya tentang diskursus al-Qur’an ini, banyak kalangan yang mengasumsikan bahwa al-Jābirī tergerak untuk melirik persoalan pemahaman al-Qur’an dipengaruhi oleh tragedi 11 September. Akan tetapi, dalam pengakuannya, al-Jābirī mengatakan bahwa ia sudah merasa butuh untuk menulis karya seputar al-Qur’an sejak era 70-an, di mana pada saat itu terjadi transformasi ideologis yang massif. Sebagai pengganti dari marxisme, muncullah ideologi agamis yang menjadikan Islam sebagai basis. Dalam pandangannya, memfungsikan agama Islam sebagai basis ideologis setidaknya akan memunculkan dua ekses buruk; Pertama, sikap mudah mengkafirkan orang; Kedua, munculnya interpretasi teks-teks keagamaan secara sembarangan. Orang-orang akan mudah menjustifikasi setiap persoalan dengan menghegemoni ayat-ayat Tuhan dan mengaku sebagai pihak yang benar, sementara pihak lain disalahkan.[10]
Berakar dari jargon relevansi al-Qur’an dalam bentangan ruang dan waktu, dengan hadirnya karya tersebut pengantar ini, grand project yang ia usung bertujuan untuk “ja΄l al-Qur’ān mu΄āṣiran li nafsih wa mu΄āṣiran lana”, menghadirkan al-Qur’an aktual di eranya dan di era saat ini (baca: kita). Kaitannya dengan dua prinsip tersebut al-Jābirī mengungkapkan:[11]

“…menjadikan al-Qur’an aktual bagi dirinya sendiri (dapat dilakukan) dengan berusaha keras untuk memahaminya dalam bingkai zaman dan pengetahuan para mukhaṭṭab-nya. Sesuatu yang disebut dengan “memahami al-Qur’an”, secara pasti, (dilakukan dengan) menghadirkan riwayat-riwayat yang dapat membantu untuk memahaminya dan juga yang memiliki kredibilitas dalam batasan minimal, di samping menyelidiki sinergitas antara proses penurunan dan perjalanan dakwah”

“…menjadikan al-Qur’an aktual bagi kita [dapat dilakukan] dengan cara berusaha untuk megimplementasikan pemahaman sebagaimana di atas, pada konteks akidah dan syari’ah, dengan membedakan antara (khiṭāb) `ām yang muṭlaq dan `ām yang muqayyad, sembari menetapkan yang pertama, seperti seruan yang kontemporer (aktual/bermanfaat) bagi kita, untuk menerapkannya, dan menetapkan kedua, seperti seruan yang bersifat moralitas, untuk mengambil `ibrah dan mencari inspirasi yang bersifat inovatif”

Dengan aktual di eranya, artinya al-Qur’an dihadirkan dalam nuansa pada saat ia turun. Degan kata lain, bukan dalam bentuk yang terdapat di antara dua sampul musḥaf sekarang. Sedangkan aktual di era sekarang, artinya pemahaman al-Qur’an harus benar-benar memberikan kemanfaatan atau solusi bagi problem kemanusiaan yang dihadapi. Sehingga, tujuan tersebut pada akhirnya akan tercapai, di mana al-Qur’an benar-benar menjadi sebuah kitab keagamaan (kitab dīniyyah) yang memberikan petunjuk bagi umat manusia (hudan li al-nās).

C. Sajian dan Sistematika Penulisan
Seperti yang telah terungkap sebelumnya bahwa karya ini merupakan pengantar untuk masuk dalam bentuk karya tafsirnya yang ia terbitkan pada tahun 2008 dan 2009. Sebagai sebuah pengantar tafsir, tentu pembahasan karya ini tidak terlepas dari tema-tema seputar studi al-Qur’an, di samping juga penjelasan tentang metode yang ia bangun untuk berinteraksi (baca: tafsir) dengan al-Qur’an.

Dalam pada itu, al-Jābirī menyajikan tiga tema besar, yaitu; pertama, pembacaan tentang problem-problem seputar al-Qur’an. Kajian ini meliputi; tiga agama samāwī, da΄wah muḥammadiyyah, konsep kenabian dan wahyu. Kedua, proses perwujudan al-Qur’an dan formuasinya (masār al-kawn wa al-takwīn). Kajian ini meliputi; redefinisi al-Qur’an dan istilah-istilah yang berkaitan dengannya, problem kebahasaan al-Qur’an, dan sejarah perjalanan kodifikasi, berikut persoalan susunan al-Qur’an dalam pola tartīb nuzūlī dan muṣḥafī. Ketiga, kisah-kisah al-Qur’an. Kajian ketiga ini di samping sebagai contoh bentuk penafsirannya, juga terkait erat dengan proses da΄wah muḥammadiyah yang dibaca melalui magzā tahapan penurunan ayat dan juga dialektika antara al-Qur’an dan para pengingkarnya.

D. Sistematika Tartib Nuzuli dan Pola Ideografi dalam Pembacaan al-Qur’an
Dalam dataran aplikatif, al-Jābirī menerapkan dua prinsip di atas dalam bentuk karya tafsir yang didasarkan pada urutan kronologi pewahyuan al-Qur’an (tartīb nuzūlī). Hal ini dilakuakan tidak sebagaimana lazimnya para mufassir terdahulu yang berdasarkan susunan mushhaf (tartīb mushhafī), karena ia beranggapan bahwa al-Qur’an bersifat open book, di mana ia tersesusun dari surat-surat independen yang terbentuk berdasarkan tahapan wahyu, dan surat-surat itu sendiri terbentuk dari ayat-ayat yang terpaut—pada banyak kasus—dengan kondisi-kondisi terpisah, yaitu asbāb al-nuzūl. Sehingga, tidak mungkin menanalisa al-Qur’an seperti bangunan kokoh yang terpakem pada susunan tertentu (baca: tartīb mushhafī).[12]
Selain dari pandangan tersebut, kemunculan ide untuk menghadirkan bentuk penafsiran dalam sistematika tartīb nuzūlī juga terinspirasi oleh gagasan al-Syāṭibī mengenai pemahaman al-Qur’an dalam karyanya yang berjudul al-Muwāfaqāt. Menurut al-Syāṭibī, sebagaimana yang dicuplik oleh al-Jābirī, bahwa:

“Surat-surat madinyyah seyogianya diturunkan dalam rangka untuk memahami surat-surat makiyyah. Dalam kelompok surat-surat makiyyah, antar bagiannya diturunkan dalam rangka untuk memahami bagian yang lain, begitupun surat-surat madinayyah. Pemahaman tersebut mengikuti pola kronologi penurunannya. Jika tidak demikian, maka pemahaman atas al-Qur’an pun tidak sah”.[13]

Artinya, kunci dari penafsiran yang berdasarkan tartīb nuzūlī terletak pada adagium bagian-bagian al-Qur’an saling menafsirkan satu sama lain (al-Qur’ān yufassir ba`ḍuh ba`ḍā). Kendati demikian, al-Jābirī tidak bermaksud untuk menyingkirkan riwayat-riwayat yang menjadi rujukan para penafsir sebelumnya. Justru ia melakukan interaksi dengannya secara positif yang disertai ijtihād atau (penggunaan) riwayat lain yang di dalam al-Qur’an ditemukan dukungan atas keduanya, di samping merupakan senjata baginya untuk menghadapi pemalsuan, begitu juga terhadap motif targīb wa tarhīb, atau motif-motif mażhabiyyah sekaligus juga menghadapi isrāiliyyāt serta ragam warisan “tradisi” Islam masa lalu.

Pada karya ini, al-Jābirī tidak secara tegas mengungkapkan penggunaan tartīb nuzūlī yang mana atau membuat format baru. Akan tetapi, jika dilihat dari uraiannya pada saat mengupas persoalan kisah-kisah al-Qur’an, tartīb nuzūlī yang ia gunakan adalah versi al-Azhar (Mesir). Hal ini berbeda jika dilihat dari karya tafsirnya, justru format tartīb nuzūlī yang ia gunakan merupakan format baru dalam kajian sejarah al-Qur’an. Dalam mengupas kisah kaum ‘Ad, Samud, dan Fir’aun dalam QS. al-Fajr (89), misalnya. Ia menyebutkan bahwa al-Fajr merupakan surat yang kesepulah dalam urutan kronologi penurunan (tartīb nuzūlī).[14] Sedangkan jika dilihat dalam karya tafsirnya ia terletak pada urutan ketujuh setelah al-`Alaq, al-Mudaśśir, al-Masad, al-Takwīr, al-A΄lā, dan al-Lail.[15] Artinya, terdapat inkonsistensi dalam penggunaan sistematika tersebut. Padahal, hal tersebut sangat mempengaruhi hasil dari orientasi pembacaan al-Qur’an-nya. Persoalan konstruksi tartīb nuzūlī dalam karya tafsirnya, ia hanya mengungkapkan bahwa ia melandaskannya pada sinergitas antara proses penurunan (al-Qur’an) dengan proses da΄wah (muḥammadiyyah).[16]
Selain dari didasarkan pada kronologi pewahyuan, al-Jābirī juga menggunakan pola ideografi. Hal ini dilakukan dalam rangka mengetahui magzā dari masing-masing surat dan/atau kelompok ayat. Dalam pada itu, ia membaginya dalam enam tahapan yang diklasifikasi dalam kategori makiyyah dan madaniyyah, di samping masing-masing tahapan tersebut dibagi lagi menurut kategori tema pewahyuannya. Selain itu, ia juga bermaksud untuk melihat secara langsung perjalanan da΄wah muḥammadiyyah, kondisi real masyarakat saat itu, serta kondisi diri Nabi Muhammad. Sehingga, pembacaan dengan model demikian akan menguak secara gamblang sisi historositas dari al-Qur’an itu sendiri. Inilah yang kemudian ia sebut dengan membaca al-Qur’an dengan sīrah (nabawiyyah) dan membaca sīrah melalui al-Qur’an.
Namun demikian, meskipun al-Jābirī mampu menghadirkan al-Qur’an dari sisi historisitasnya—kondisi pada saat diturunkan—dengan pola ideografinya, tetapi dalam beberapa kasus ia terjebak pada ketidakmampuan untuk memasukkannya dalam klasifikasi ideografi yang ia bangun. Seperti pada saat ia mengupas bagian kisah al-Qur’an dalam periode makiyyah pertama. Ia memasukkan kisah pemilik kebun (QS. al-Qalam, [68]: 17-33) pada barisan ini dengan sisi kesamaan ide, yakni peringatan bagi kaum Quraisy akan nasib para umat terdahulu yang diadzab oleh Allah karena mengingkari dan mendustakan Nabi-Nya. Padahal, dalam tartib nuzūlī versi Mesir termasuk dalam kategori pengecualian ayat dalam QS. al-Qalam yang turun di Madinah (setelah hijrah).[17]

E. Penutup
Dalam penutup ini, penulis berkesimpulan bahwa sisi historisitas yang dimunculkan oleh al-Jābirī dalam diskursus al-Qur’an-nya merupakan perihal yang cukup dominan dan keharusan demi menempatkan al-Qur’an pada posisi seobjektif mungkin, sesuai dengan kondisi penurunannya. Dengan kondisi tersebut, al-Qur’an kemudian ditarik ke masa kini dengan mengambil sisi signifikansinya (magzā) adalah langkah lanjutan setelah pembaca mampu menemukan makna orisinilnya. Pembacaan demikian secara prinsipil memang mirip dengan metode double movement garapan Fazlur Rahman, tetapi dari sisi langkah-langkah metodis dan perangkat memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Karena al-Jābirī lebih menekankan pada sisi sinergitas antara proses penurunan dan perjalanan dakwah daripada rekonstruksi makna yang dirasa lebih sesuai dengan masa kini.
Meski al-Jābirī percaya bahwa nilai objektivitas dan rasionalitas akan tergapai dengan format tartīb nuzūlī dan pola ideografi, tetapi dalam banyak kasus ia tidak menggapainya. Terbukti dengan adanya inkonsistensi penggunaan format dan memaksakan objek bacaan dalam bingkai klasifikasinya. Hal ini tidak hanya dinilai sebagai bentuk ketidakberhasilan, lebih dari itu, justru sebagai bentuk dari penjauhan dari bentuk objektivitas itu sendiri. Kendati demikian, sebagai sebuah terobosan baru dalam dinamika studi al-Qur’an, karya ini patut dipresiasi dengan cara mengkajinya.

Wa Allah A΄lam bi al-Ṣawāb

[1]Catatan ini sebelumnya telah dipublikasikan secara tertulis dalam Jurnal Esensia Volume 11 No. I, 2010 Fak. Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sedangkan ulasan mengenai karya tafsir, berikut epistemologi penafsirannya, dapat dibaca dalam; Mohamad Yahya, “Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm: al-Tafsīr al-Wāḍiḥ Ḥasb Tartīb al-Nuzūl Karya al-Jābirī”, Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis, Vol. 11, No. 1, Januari 2010.

[2]Staf Peneliti pada Laboratorium Studi al-Qur’an dan Hadis (LSQH) Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

[3]Hasil rekaman Stadium Generale yang bertema “Perkembangan Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer” Bersama Muchlis M. Hanafi pada tanggal 20 Februari 2008 di Gedung Teatrichal Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

[4]Kaitannya dengan tafsir dalam tinjauan otologis, Abdul Mustaqim membahasakannya dengan tafsir sebagai produk. Artinya, bahwa tafsir merupakan hasil atau produk pemikiran (muntaj al-fikrī) dari seorang mufassir sebagai respon terhadap kehadiran kitab suci al-Qur’an. Tafsir adalah produk dilektika antara teks, pembaca dan realitas. Maka betapapun teks yang ditafsirkan dianggap suci atau disucikan, tetapi hasil interpretasi terhadap teks suci tidak suci lagi Baca: Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 18.

[5]Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir…, hlm. 5.

[6]Ulasan singkat mengenai nama-nama pemikir kontemporer tersebut dapat ditemukan dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), terkeculai dua nama terakhir. Jika M. Ṭalbi dapat ditemukan pada artikel yang telah ditulis oleh Ronald L. Netter, “Mohamed Talbi on Understanding the Qur’an” dalam Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectual and The Qur’an (New York: Oxford University Press, 2004).

[7]Sebelum era ini muncul, ada dua era yang mendahuluinya, yakni: Pertama, era formatif yang berbasis pada nalar mistis. Kategori ini terjadi pada era klasik yang lebih banyak didominasi oleh model tafsir bi al-ma’śūr yang kental dengan nalar bayānī; Kedua, era afirmatif yang berbasis pada nalar ideologis. Kategori ini terjadi pada abad pertengahan. Lihat ulasannya lebih dalam pada Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir…, hlm. vi-viii

[8]M. `Ābed al-Jābirī, Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm: al-Tafsīr al-Wāḍiḥ Ḥasb Tartīb al-Nuzūl (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-`Arabiyyah, 2008), vol. I, hlm. 10. Lebih mendekati hal tersebut nampak pada hasil wawancara Majalah al-Ayyām dengan al-Jābirī.

[9]Tetralogi Kritik Nalar Arab tersebut berupa; Takwīn al-΄Aql al-΄Arab (1982), Binyah al-΄Aql al-΄Arab (1986), al-΄Aql al-Siyāsī al-‘Arabī (1990), dan al-΄Aql al-Akhlāqī al-΄Arabī (2001). Selain karya tersebut, juga banyak karya lain yang tidak kalah menarik. Di antaranya adalah; Naḥnu wa al-Turaś: Qira’ah Mu΄āṣirah fi Turaśinā al-Falsafī (1980), al-Khitāb al-΄Arabī al-Mu΄āṣir: Dirāsah Taḥlīliyyah Naqdiyyah (1982), Isykāliyyat al-Fikr al-΄Arabī al-Mu΄āṣir (1989), al-Turaś wa al-Ḥadāśah: Dirāsat wa Munāqasyat (1991), dan lain sebagainya. Lihat lebih lengkap dalam: http//:www.aljabriabed.net.

[10]Lihat: Interview Majalah al-Ayyām dengan M. ΄Ābed al-Jābirī, “Ḥiwār Ḥawl Madkhal ilā al-Qur’ān”, dalam http://www.naqed.info/forums/indeks, yang dicuplik dari http://www.aljabriabed.net/. Diakses pada tanggal 19 Nopember 2009.

[11]M. `Ābed al-Jābirī, Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm…, vol. III, hlm. 37.

[12]M. `Ābed al-Jābirī, Madkhal ilā al-Qur’ān al-Karim: al-Juz al-Awwal fī Ta΄rīf bi al-Qur’ān, (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-`Arabiyyah, 2006), hlm. 243. Karya tafsir sebelumnya yang menggunakan sistematika tartīb nuzūlī adalah ΄Izzah Darwazah dengan judul al-Tafsīr al-Ḥadīś. Karya ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1946 di Damaskus. (Lihat: http://shamela.ws/, diakses pada 20 Oktober 2009).

[13]M. `Ābed al-Jābirī, Madkhal ilā al-Qur’ān.., hlm. 12.

[14]M. `Ābed al-Jābirī, Madkhal ilā al-Qur’ān.., hlm. 263.

[15]Lihat: M. `Ābed al-Jābirī, Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm…, Vol. I, hlm. 51-54.

[16]M. `Ābed al-Jābirī, Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm: al-Tafsīr al-Wāḍiḥ Ḥasb Tartīb al-Nuzūl (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-`Arabiyyah, 2009), vol. III, hlm. 36.

[17]Lihat: Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Yogyakarta: FkBA, 2001), hlm. 95-96. Ulasan mengenai konsep al-Qasas al-Qur’ani perspektif al-Jabiri dapat dibaca dalam laporan penelitian skripsi penulis dalam; Mohamad Yahya, “Al- al-Qaṣaṣ al-Qur’ānī Perspektif M. `Ābed al-Jābirī: Studi atas Karya Serial Diskursus al-Qur’an”, Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010).

Tinggalkan komentar