“Maaf Pak Kapolres, Niat Hati Ingin Resmi, Tetapi Sistem Tak Mengizini”


Oleh: Mohamad Yahya

Pagi itu (Senin, 14/11), kira-kira pkl. 09:25 WIB, saya memasuki kawasan Polres Cirebon. Dengan penjagaan yang cukup ketat pasca-ledakan bom beberapa waktu silam, pikir positif saya mengatakan service di Polres sudah membaik. Sembari proses pemeriksaan, saya ditanya beberapa hal oleh petugas setempat. “Mau ngurus perpanjangan SIM (Surat Ijin Mengemudi) Pak”, jawab saya saat ditanya tentang tujuan kedatangan. Petugas pun menyarankan untuk membuat Surat Keterangan Sehat (SKS) dari Dokter terlebih dahulu sembari menunjukkan lokasi terdekat. Segera langkah saya menuju tempat tersebut. Saat baru mendaftar, officer yang berseragam polisi itupun menawarkan, “Pake dibantu gak?”. “Tidak usah Pak”, jawabku kepada petugas itu.

Setelah mendapatkan SKS dengan membayar administrasi sebesar Rp. 20.000, yang tanpa pemeriksaan kesehatan sama sekali itu, langkah kakipun berlanjut menuju ke gedung tempat pengurusan SIM. Bertolak dari ketatnya pemeriksaan di pintu, pikir saya memprediksi akan mendapatkan pelayanan memuaskan dalam mengurus perpanjangan SIM. Kemudian, dengan percaya diri saya membaca secara seksama teknis pembuatannya yang terpampang di dinding. Hasil bacaan saya, yang harus saya lakukan adalah mengambil arsip saya terlebih dahulu. Kemudian, saya mencari lokasinya, dan saat menemukannya seketika saya terkaget karena mendapati kata “TUTUP”. Saya pun menanyakan kepada orang-orang yang berdiri di sekitar ruang arsip kaitannya dengan tutupnya pelayanan. Ia pun menjawab, “Mas, mas, datang jam segini ko’ berharap bisa dapat arsip, la wong saya yang datang jam 8:30 aja sudah tidak dapat”. Saya tertegun mendengar jawaban itu dan mencoba menanyakan perihal arsip kepada seorang petugas yang kebetulan lewat di depan saya. Ia menjawab, “Satu hari hanya melayani arsip perpanjangan 20 Mas.” Saya semakin bingung dengan jawaban itu dan tidak bisa merasionalisasikan sistem pelayanan yang seperti itu, dengan kuantitas masyarakat pemilik SIM yang ada di Cirebon.

Di depan gedung itu saya bingung apakah harus kembali esok harinya (pagi-pagi) sesuai dengan saran petugas tadi atau membatalkan pengurusan SIM, sementara esoknya (selasa) saya mendapat tugas presentasi di kampus, UIN Yogyakarta. Dengan beragam pertimbangan yang ada, saya pun memtuskan untuk memanfaatkan “jasa” calo. Dengan sedikit pengamatan akhirnya saya mendapati calo berseragam polisi. Harga yang ia patok adalah 160.000, saya pun menawar 140., dia menolaknya, saya pun menambahkan 150, dan dia tetap menolaknya. Kemudian saya menyepakati harga tersebut, 160 ribu. Dia berkata, “Tunggu di Kantin sebentar ya”, “Ya”, jawab saya. Lima belas menit kemudian datang sosok lain dan berkata, “Jam 11:30 tunggu di depan ruang foto Mas”, yang saat itu waktu sudah menunjukkan pkl. 11:09 WIB. Beberapa waktu kemudian saya menuju gedung pengurusan SIM dan duduk di depan ruang foto. Pada pkl. 11:40 saya dipanggil dan pada pukul 12:05 SIM saya jadi.

Dalam perjalanan pulang saya banyak berfikir tentang apa yang telah saya hadapi barusan, hingga pada sampai kesimpulan kasar, “Bukan masyarakat yang menghendaki fenomena percaloan, tetapi sistem itu sendiri yang dibuat demikian demi kepentingan kantong para oknum polisi.” Rugi memang, SIM yang harusnya hanya 75.000 membengkak dua kali lipat lebih menjadi 160.000. Percaloan bak lintah darat yang terus menghisap, dan anehnya yang berwajib menjadi bagiannya. “Sialan…!!!”, kata hati saya, “Kapan rakyat ‘jelata’ Indonesia merdeka di negerinya sendiri…????”. Maaf Pak Kpolres, niat hati ingin resmi, tetapi sistem anda tak mengizini.

Tinggalkan komentar